Rabu, 22 Februari 2012

SURAT PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH

 
SURAT PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama
:
M.S.TAIHUTTU
Umur
:
79Tahun
Pekerjaan
:
Purnawirawan Polri
Alamat saat ini
:
Jln. Dr. Kayadoe No.26 RT.004/002  Kel. Benteng Kec. Nusaniwe    Kota Ambon
Untuk selanjutnya disebut pihak ke I (penjual).
Dan
Nama
:

Umur
:

Pekerjaan
:

Alamat saat ini
:


Untuk selanjutnya disebut pihak ke II (pembeli)

Pada hari..............tanggal ...... Februari 2012 pihak ke I,  telah menjual, lepas/mutlak sebidang tanah darat seluas 140 M2, berikut sebuah bangunan yang terletak diatas tanah tersebut ditambah sebidang tanah pekarangan ukuran 4 x 5 m yang terdapat di depan bangunan rumah kepada pihak ke II dengan harga senilai  Rp. 275.000.000,- (dua ratus tujuh puluh lima juta rupiah).

Batas-batas tanah tersebut adalah sebagai berikut :
Sebelah barat : Tanah Negara
Sebelah timur :
Tanah Negara
Sebelah utara :
Tanah Negara
Sebelah selatan :
Tanah Negara

Bangunan terdiri dari :
Ukuran panjang dan lebar :
140 M2
Atap :
Senk
Dinding : Tembok
Lantai :
Semen

Dengan kesepakatan sebagai berikut :
1.      Pembayaran dilakukan secara bertahap yakni pembayaran tahap pertama senilai Rp. 125.000.000,- (seratus dua puluh luma juta rupiah) pada tanggal ............................... ( tanda terima pembayaran terlampir )  dan pembayaran tahap ke dua pada tanggal ........................... senilai Rp. 150.000.000,- (sertus lima puluh juta rupiah ) secara tunai.
2.      Penandatanganan surat perjanjian jual beli ini dilakukan setelah pembayaran tahap kedua senilai Rp. Rp. 150.000.000,- (sertus lima puluh juta rupiah ) secara tunai dilaksanakan.
3.      Bahwa setelah penandatanganan surat perjanjian ini maka, Pihak I ( penjual ) wajib menyerahkan seluruh dokumen  rumah dan tanah tersebut berupa :
-          sertifikat tanah,
-          bukti setoran PBB tahun terakhir,
-          bukti pebayaran rekening listrik bulan berjalan,
-          bukti pembayaran iuran PDAM.
4.      Bahwa setelah penandatanganan surat perjanjian ini dilakukan maka luas tanah dan bangunan rumah dalam surat perjanjian ini adalah menjadi hak mutlak pihak ke II ( pembeli ) serta segala biaya yang timbul dari jual beli ini adalah tanggung jawab pihak ke-II ( pembeli ) .

Maka, sejak tanggal .... Februari 2012 Tanah bangunan tersebut di atas telah menjadi hak milik pihak ke II. Pada waktu pelaksanaan jual beli tanah tersebut baik pihak ke I (penjual) maupun pihak ke II (pembeli) juga saksi-saksi semuanya meyatakan satu sama lain dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun rohani, dan segala sesuatu dengan itikad baik.

Demikian, setelah keterangan isi jual beli ini dimengerti oleh pihak ke I dan pihak ke II, juga saksi-saksi, maka ditanda-tanganilah sebagai permulaan saat pemindahan hak milik pihak ke I kepada pihak ke II pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut diatas.

 
Pihak Ke I (Penjual)



M.S.TAIHUTTU

Pihak Ke II (Pembeli)



................................................


Saksi-saksi


Saksi Ke I      : .....................................



Saksi Ke II
    : .....................................


 
Saksi Ke III
   : .....................................


 
Saksi Ke IV
  : .....................................

ISTILAH PIDANA

 Penggunaan istilah pidana dan artinya .

Hukuman adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar norma hukum disiplin, ganjarannya adalah hukuman disiplin, untuk pelangaran hukum perdata diberi ganjaran hukum perdata, untuk pelanggaran hukum administrasi diberi ganjaran hukum administrasi dan ganjaran atas pelanggaran hukum pidana adalah hukum pidana. Khusus mengenai tersebut terakhir dapat dipermasalahkan dua kata-kata yang dimajemukkan itu dan ada yang mempunyai arti yang sama, karena kata pidana adalah juga sebagai istilah bagi kata-kata derita, nestapa, pendidikan, penyeimbangan dan lain sebagainya. Jika pemajemukan itu ditinjau dari sudut " nomen generis " ( nama jenis ) dimana kata hukuman dibaca dalam pengertian " genus "  sedangkan pidana dalam pengertian " species ", timbul persoalan baru mengenai pemajemukan yang lainnya. Apabila pemajemukan yang dipandang dari sudut ilmu bahasa, apa yang disebut dengan  " hukum D.M " ( diterangkan-menerangkan ), kata tersebut pertama adalah yang diterangkan sedangkan yang kedua adalah yang menerangkan. Dalam hal ini hukuman pidana berarti hukuman sebagai akibat dari dilanggarnya suatu norma hukum pidana dan seterusnya. Selain dari pada peninjauan dari pada peninjauan dari sudut tersebut diatas, masih ada juga dari sudut lain yaitu dari sudut " penegasan ". bereti ada dua kata yang sama atau mirip artinya, lalu dimajemukan untuk memberikan penekanan atau penegasan khusus seperti misalnya kata-kata : sepak terjang, hiruk pikuk dan lain sebagainya. dari sudut pengertian yang elipstisch berarti ada sebagian kata-kata dri dari keseluruhan kalimat yang dihilangkan. Dalam hal ini kalimat " hukuman " karena melanggar suatu norma hukum pidana " disingkat menjadi hukuman pidana .

Selanjutnya dipandang dari sudut penterjemahan Wetboek van Strafrecht ( W.v.S ) jika straf diterjemahkan dengan hukuman pidana dan recht dengan hukuman, maka WvS harus diterjemahkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Kiranya cara-cara mempermasalahkan tersebut diatas lebih cebderung untuk mendorong menyepakati mempersingkat ( lagi ) hukuman pidana dengan satu kata saja yaitu " pidan ". Disamping hal ini merupakan penghematan, juga akan sekaligus memberi kejelasan apabila istilah pidana disambung dengan suatu predikat, misalnya pidana tambahan, pidana penjara dan lain sebagainya.

Beberapa batasan hukum pidana.
  
Seperti haknya dengan batasan hukum, mengenai batasan hukum pidana pun tiada terdapat kesamaan. Apabila dihubung-hubungkan pengertian hukum dan pidana tersebut diatas, sedikit/banyak sudah didapati suatu gambaran, mengenai pengertian hukum pidana. Sudah barang tentu tidak semua norma hukum diikuti dengan ancaman pidana, melainkan hanya apabila untuk suatu tindakan  tertentu ( pelanggaran norma ) " dirasakan " perlu diancam dengan derita/ nestapa berupa pidana atau perlu digunakan " pengobatan terakhir " ( ultimum remedium ) atau dengan menggunakan istilah  Dr. Wiryono yaitu " senjata pamungkas " Berikut ini akan diutarakan beberapa batasan atau uraian mengenai hukuman pidana. dari uraian atau batasan tersebut akan dicoba megambil suatu kesimpulan mengenai yang manakah dari uraian/ batasan itu lebih cocok bagi hukum pidana di Indonesia, untuk kemudian dijuruskan kepada hukum pidana Indonesia.

Simons pada pendahuluan umumnya secara langsung membedakan hukum pidana subjektif terhadap hukum pidana objektif, hukum pidana material terhadap hukum pidana formal sertamengutarakan bahwa hukum pidana termasuk hukum publik. Hukum pidana objektif dirumuskan sebagai berikut :
" semua tindakan-tindakan keharusan (gebod ) dan larangan ( verbod) yang dibuat oleh negara atau penguasa umum lainnya, yang kepada pelanggar ketentuan tersebut diancam dengan derita khusus yaitu " pidana ", demikian juga peraturan-peraturan yang menentukan, syarat bagi akibat hukum itu, serta ketentuan-ketentuan mengenai dasar penjatuhan pidana dan pelaksanaannya".
Kemudian dalam memperbedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil, pada garis besarnya bahwa hukum pidana materil memuat ketentuan-ketentuan serta rumusan dari suatu tindak pidana, ketentuan-ketentuan  serta rumusan dari suatu tindak pidana, ketentuan-ketentuan mengenai pertanggung jawaban pidana, ketentuan-ketentuan mengenai pidana.  Sedangkan hukum pidana Formil mengatur tentang tata cara  mewujudkan hak memidana dan menjalankan pidana. Selanjutnya diutarakan bahwa hukum pidana termasuk hukum publik. Dalam memperbandingkan individu-individu dengan masyarakat negara, penerapan hukum pidana hanya dilakukan apabila kepentingan masyarakat menuntutnya. Sifat hukum pidana lebih menonjol lagi sebagai hukum publik karena pertanggung jawaban pidana tetap tidak berobah, sekalipun perbuatan tersebut dilakukan atas permintaan dari yang terkena tindakan.

Telah merupakan suatu ketentuan bahwa penuntutan seseorang pelaku merupakan tugas penguasa ( jaksa / Penuntut Umum ) dan tidak tergantung pada yang dirugikan.


POMPE mengatakan " Hukum pidana adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa ancaman pidananya yang bersesuaian "
 


HUKUM MATERIL & HUKUM FORMIL

  • Hukum Materil disamping Hukum Formil
Walaupun sudah ada norma-norma hukum dan mempunyai sifat memaksa, belum merupakan suatu garansi bahwa norma hukum tersebut akan ditaati oleh rakyat. Agar supaya norma-norma tersebut ditaati diadakan ancaman-ancaman hukuman, yaitu hukuman perdata, hukuman administrasi, hukuman disiplin, hukuman pidana, untuk norma-norma hukum yang bersangkutan, pelaku (subjek) dan tingkah laku yang dirumuskan (norma) serta ancaman hukuman (sanksi ) tersebut sebagai hukum material.
untuk dapat melaksanakan ancaman-ancaman hukuman diadakan ketentuan-ketentuan yang mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan ketentuan-ketentuan tentang acara penyelesaian pelanggaran hukum material yang disebut sebagai hukum formil. Norma-norma hukum formal bukan mengatur tingkah laku yang terlarang/diharuskan, melainkan mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan acaranya. Pelaksanaan tugas-tugas badan-badan peradilan dilakukan oleh hakim ( zittende magistraat ) melakukan penyidikan dan penuntutan yang pelaksanaannya hanya dalam bidang hukum pidana. sedangkan penyidik ( yang dalam HIR dulu disebut sebagai hulpmagistraat ) melakukan penyidikan hanya dibidang hukum pidana ( pasal 6 dst KUHAP ) menurut ketentuan dalam ketetapan pemerintah ( koningkelijke Besluit ) tanggal 27 April 1922. Stbl 1922/522, jaksa/ penuntut umum mewakili ( vertegenwoordigen ) pemerintah dalam perkara yang diadili ( berecht ) dipengadilan perdata.
  • Hukum Objektif dan Hukum Subjektif 
Hukum objektif  ( le droits, law ) adalah semua garis-garis hukum yang terdapat dalam hukum positif. Hukum sebjektif ( le droit, recht ) memuat ketentuan-ketentuan mengenai hubungan hukum ( rechts betrekking ) antara pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu timbulnya hak tertentu bagi seseorang dari aturan-aturan / ketentuan-ketentuan dalam hukum objektif pada suatu kejadian/ peristiwa atau keadaan tertentu. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa hukum subjektif adalah ketentuan-ketentuan mengenai hak perseorangan yang timbul dari suatu peraturan.

Dalam hukum perdata ditentukan antara lain : " hak milik dapat diperoleh karena  pengalihan/penyerahan ( uitlevering ) berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik " ( pasal 584 BW ) ketentuan ini adalah merupakan garis hukuman dari hukum objektif. jadi dalam hal terjadi jual beli , maka terjadi penyerahan barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli dan sebaliknya terjadi penyerahan uang dari pembeli kepada penjual . Pada penjual timbul hak subjektif untuk memiliki uang, sedangkan pada pembeli timbul hak (subjektif) memiliki barang sebagai akibat dari ketentuan-ketentuan oada hukum objektif.

Minggu, 12 Februari 2012

Pembagian hukum Publik disamping Hukum Perdata

  • Hukum publik adalah keseluruhan garis-garis hukum yang berhubungan dengan bangunan negara atau badan-badan negara, yaitu bagaimana badan-badan negara melaksanakan tugasnya, bagaimana hubungan kekuasaannya satu sama lainnya dan perbandingan atau hubungannya dengan masyarakat atau perseorangan dan sebagilknya. Dalam hal ini yang dimaksaud dengan bangunan negara adalah bentuk pemerintahan, susunan dan kewenangan-kewenangan badan (penguasa) tersebut. hukum publik dibagi tiga yaitu : Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana.
  1. Hukum tata negara adalah serangkaian ketentuan -ketentuan yang megatur : bangunan negara, hubungan-hubungan badan negara sesamanya dan bagaimana caranya melaksanakan tugas-tugasnya.
  2. Hukum administrasi negara ( hukum tata usaha negara ) , juga sering disebut sebagai hukum tata pemerintahan adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang menagtur bagaimana caranya badan-badan pemerintahan dan badan-badan peradilan administrasi menjalankan tugasnya. yang termasuki badan pemerintahan adalah : pemerintah ( Presiden, Wakil Presiden, Dewan Pertimbangan Agung sebagai suatu badan yang memberikan pertimbangan atau nasihat-nasihat kepda pemerintah baik diminta atau tidak ), kementrian-kementrian / depertemen-depertemen, pemerintah daerah termasuk yang bersifat istimewa, serta badan pemeriksa keuangan negara. Pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya melakukan pengawasan terhadap yang lebih rendah. Jika terjadi perselisihan antara badan-badan pemerintahan, yang terpaksa harus diselesaikan melalui pengadilan, hal ini sebenarnya merupakan porsi dari badan-badan peradilan administrasi. 
  3. Hukum  Pidana adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang mengatur : tingkah laku yang dilarang atau yang diharuskan  yang diancam dengan pidana, jenis dan macam pidana dan cara-cara menyidik, menuntut, pemeriksaan persidangan serta melaksanakan pidana.
  • Hukum perdata adalah ketentuuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara sesama warga perseorangan atau antara warga tersebut dengan penguasa sebagai pribadi/perseorangan ( bukan dalam fungsi sebagai pejabat ). dalam hal ini pejabat tunduk kepada peradilan perdata. Hukum perdata  terbagi dari hukum perdata dalam arti luas dan hukum perdata dalam arti sempit. Dalam arti sempit ia hanya meliputi ketentuan-ketentuan tentang orang, tentang kebendaan, tentang perikatan dan tentang pembuktian serta daluarsa seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan dalam arti Luas, selain meliputi ketentuan-ketentuan mengenai perdagangan sebagaaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang.

Pengertian dan Pembagian Hukum

        Untuk dapat mengerti, apakah Hukum Pidana itu, terlebih dahulu harus dipahami pengertian dan pembagian atau pengelompokan hukum. Pengertian dan pembagian hukum penting untuk mempermudah mempelajarinya secara sistematis walaupun manfaatnya lebih banyak untuk pembahasan teorinya dari pada nilai praktisnya.

        Mengenai pengertian hukum (pada umumnya ) terdapat perbedaan diantara para sarjana, yang karenanya perumusan atau batasannya pun berbeda. Apabila diperhatikan batasan-batasan hukum yang dikemukakan itu, akan terasa bahwa perbedaan perumusan terjadi karena sudut penglihatan masing-masing kepada hukum. Dari beberapa batasan hukum dibawah ini kiranya dapat dipahami dari sudut mana pengamatan dan penglihatan para sarjana tersebut.

CIRERO : " Law is the highest reason, implanted in nature, which prescribe those things whits ought to be done, and forbids the contrary " De legibus ( young Trans )

VN JHERING : " Law is the sum of the compulsory rules in force in a state. Law is a means to an end ". ( Husik Trans. 1914 )

VAN VOLLENHOVEN : " Recht is een verschijnsel der almaar stroomende samanleving, met andere verschijnselen in rusteloze wisselwerking van stuw en tegenstuw "

GROTIUS  : " Law is the rule of moral action obliging to thatwhich is right " DE Jure Belli ac Pacis ( 1625).

HOLMES : " The Prophecies of what the courts will do in fact, and nothing more pretentious, are what I mean by law ".  Collected Legal Paper ( 1921).

RUSSIAN PENAL CODE : " Law is a system of social relationship which serve the interests of the ruling classes and hence is supported by their organized power, the state " ( article 590 )

SUDIMAN KARTOHADIPRODJO : " Hukum itu adalah sesuatu yang bersangkutan dengan manusia, dalam keadaan hubungannya dengan manusia lainnya.

TAMBUNAN  A : " Hukum adalah Refleksi kehidupan dan penghidupan masyarakat dalam mencapai cita-citanya.

PEMBAGIAN HUKUM DARI BERBAGAI SEGI :
       Tergantung dari sudut penglihatan tertentu kita dapat membagi , menggolongkan atau membedakan hukum. Pembagian dapat diadakan dengan mempelajari atau mengamat-amati syarat, hakekat dan tujuannya, cita-cita manusia, kepentingan manusia baik sebagai individu  mauun sebagai insan bermasyarakat yang perlu dilindungi, hak-hak serta kewajiban yang timbul dari padanya dan cara pelaksanaannya. 

Pembagian atau pengelompokan hukum sebagai berikut :
  • Hukum tidak tertulis disamping yang tertulis.
        Hukum tidak tertulis juga gapat disebut sebagai hukum kebiasaan yaitu merupakan ketentuan-ketentuan  yang lazim dipatuhi masyarakat walaupun tidak tertulis . Dalam hal ini termasuk sebagian besar Hukum adat yang ada di Indonesia. Hukum tertulis sebagian besar sudah berupa perundang-undangan, namun tidak jarang dapat ditemukan dalam bentuk suatu hiukayat, puisi atau pantun tertulis dan lain sebagainya yang didalamnya mengandung ketentuan hukum.
        Pada zaman purbakala terutama sebelum dikenal tulisan-tulisan, orang hanya mengenal hukum tidak tertulis. Walaupun kemudian dan sekarang ini sebagian besar manusia sudah mengenal tulisan-tulisan, namun masih banyak hukum tak tertulis, terutama di Negara-negara berkembang seperti juga di Indonesia. semula hukum tak tertulis pada umumnya terbentuk karena kebiasaan- kebiasaan dan putusan-putusan tua-tua masyarakat setempat yang dapat disebutkan semacam peradilan. Hukum yang terbentuk itu diwariskan turun temurun secara lisan, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan dan kebutuhannya.

      Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia pada Umumnya tidak tertulis. Dalam perkembangan hukum tidak tertulis . dalam perkembangan hukum sendiri, telah terjadi pola-pola atau garis-garis hukum tertentu yang dianut oleh masyarakat setempat. Sejak kapan pola-pola, dasar-dasar atau garis-garis hukum tertentu telah terjadi, pada umumnya berbeda-beda. Dalam suatu masyarakat tertentu lebih cepat dari pada masyarakat lainnya. tanggal-tanggal kejadian yang pastii sampai sekarang belum jelas.

        Suatu keberatan terhadap hukum tidak tertulis , dalam hal ini hukum adat di Indonesia adalah tidak terdapatnya satu kesatuan hukum dan kepastian hukum. Hal ini akan lebih terasa jika salah satu warga dari suatu daerah hukum adat bermukim di daerah hukum lainya. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa mudah disesuaikan dengan perkembangan  keadaan dan kepentingan masyarakat  sesuai dengan tempat dan waktu, yang karenanya lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat.

      Kesadarah Hukum masyarakat setempat sebagaai akibat dari cepatnya perubahan kebutuhan/ kepentingan masyarakat, lebih cepat berkembangnya dari pada perubahan atau penyesuaian hukum tertulis.Keadaan ini juga berlaku sampai sekarang, itulah juga sebabnya mengapa pada zaman modern ini, masih saja dikenal hukum tidak tertulis " contohnya dalam pasal 1339 BW ditentukan : persetujuan-persetujuan tidak saja mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

         Dalam hukum tata negara dikenal juga hukum tidak tertulis. Pada suatu negara yang menganut sistim hukum parlementer, merupakan suatu kebiasaan ( dan dianggap sebagaai hukum yang mengikat ), bilamana parlemen mengajukan mosi tidak percaya kepada kabinet, maka adalah suatu keharusan bagi kabinet itu untuk mengundurkan diri. Dalam rangka Undang-undang Dasar Sementara RI Tahun 1950- 1959 sering terjadi  mengundurkan diri atau dirombak ( reshuffle) karena mosi tidak percaya dari parlemen.

         Dalam hukum pidana , ketentuan-ketentuan tidak tertulis tidak dapat diabaikan begitu saja, selain dari pada masih berlakunya hukum (pidana) adat , dalam Undang-undang hukum pidana pun masih dapat ditemukan pasal-pasal yang menunjuk pada hukum kebiasaan. Demikian misalnya pasal 494 KUHPidana ditentukan " diancam dengan denda paling banyak ......... barang siapa tidak mengadakan penerangan secukupnya dan tanda-tanda menurut kebiasaan ...... " pasal 302 ayat (1) ke-1 dan ke-2 KUHPidana  menggunakan istilah " barang siapa tanpa tujuan yang patut ............... "  yang untuk penafsiran istilah ini harus dicari dan disesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.

          Uraian diatas tadi secara teoritis akan bertentangan dengan bunyi pasal 1 KUHP yang pada dasarnya menentukan bahwa sumber hukum pidana adalah Undang-undang, tetapi dalam praktek dan kenyataannya hal-hal yang telah diuraikan di atas tidak dapat diabaikan.

          Dalam Sistem Hukum Indonesia , dapat kiranya dimengerti bahwa walaupun pada prinsipnya kita lebih cenderung  untuk memberlakukan hukum tertulis demi kepastian hukum, namun dalam berbagai hal  atau karena alsan-alasan tertentu huhkum tidak tertulis masih perlu diberlakukan, yang tentunya harus dibatasi.
  • Hukum Filsafat di samping Hukum Positif

         Sepanjang sejarah manusia telah terjadi dan berkembang tata kehidupan manusia telah terjadi dan berkembang tata kehidupan dan penghidupan manusia, agar tercapai ketentraman hidup. baik buruknya peraturan-peraturan itu terhantung kepada peradaban manusia dari waktu ke waktu. Dalam keadaan-keadaan ini para pemikir menyibukkan diri untuk menggali dan mempelajari hakekat dan azas-azas dari peraturan-peraturan atau garis hukum serta mengkaji apa gerangan nilai-nilai dan cita-cita luhur dari garis hukum tersebut, yang hasilnya dapat disebut sebagai Filsafat Hukum. Apabila mereka lebih jauh lagi mempelajari garis-garis hukum apa yang lebih sempurna untuk masa depan dan sejauh mungkin tidak dibatasi oleh waktu dan tempat, maka hasil pemikiran tidak dibatasi oleh waktu dan tempat, maka hasil pemikiran itu dapat disebut sebagai filsafat hukum.

      Sekedar untuk menelusuri sejarah dari hukum filsafat, beberapa ahli-ahli hukum terkenal pada zaman Junani ( SOCRATES , ARISTOTELES ) dan Romawi ( CICERO ) dalam mencari hukum yang lebih sempurna dari pada hukum positif yang sedang berlaku, mencarinya kepada hukum Alam ( natuur recht ) yang landasannya lebih tinggi dari pada hukum positif dan yang diharapkan berlaku abadi, tidak berobah karena tempat dan waktu.

         Pada Zaman pertengahan , THOMAS van AQUINO membangun teorinya tentang hukum alam  dengan SUMMA THEOLOGICA yang didasarkan pada TUHAN sebagai pencipta manusia. Dalam sistematika pemikir ini, tugas hukum positif adalah memperlengkapi hukum alam dengan hukum manusia yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat. Hingga kini ajaran THOMAS van AQUINO masih berkembang dalam kalangan agama Khatolik (V.CATHRIEN,W.J.A.DUINSTEE dan sebaagaainya ).

          Setelah "zaman pmbaharuan Gereja" ( reformasi, abad ke XVI)  HUGO de GROOT (GROTIUS) meletakkan dasar-dasar untuk ajaran hukum alam baru, terlepas dari dasar-dasar KeTuhanan ( de jure belli ac pacis, 1625 ) Setelah ajaran ahli filsafat ini muncul ahli-ahli filsafat lainnya seperti SPINOZA, IMMANUEL KANT dan sebagainya yang mengajarkan bahwa semula manusia itu hidup berkelompok-kelompok sebelum ada Negara. Kemudian Negara diadakan atas dasar perjanjian masyarakat dan timbullah kekuasaan pada penguasa Negara. Timbullah kekuasaan itu adalah dasar perjanjian perdata dari warga masyarakat yang menyerahkan sebagian dari " kekuasaannya yang diberikan oleh alam" (status naturalis) kepada Negara (status civilis). Para penganut ajaran ini antara lain adalah  HUGOde GROOT, THOMAS HOBBES, JHON LOCKE, CHRISTIAN THOMASIUS, JEAN JACQUES ROUSSEAU). Ajaran ini yang diisebut sebagai Contract Social, kemudian menjadi landasan dari revolusi Perancis.

          Jadi hukum Filsafat adalah hukum yang lebih sempurna yang secara teoritis diangan-angankan bisa merupakan kenyataan dimasa yang akan datang, atau dapat dikatakan bahwa hukum Filsafat adalah garis-garis hukum yang ada di kamar study para ahli-ahli pemikir yang belum berlaku dalam masyarakat, walaupun harus diakui bahwa ia banyak mempengaruhi hukum positif sebagaimana dibuktikan oleh sejarah.

         Hukum Positif adalah hukum yang berlaku sebagaai hukum bagi masyarakat suatu negara, pada waktu tertentu, Sebagai sumber dari hukum positif pada umumnya adalah undang-undang, kebiasaan, ilmu pengetahuan hukum, jurisprudensi.